WILLIBRORDUS menjadi MUSLIM

Ketika beragama Katolik, Lasiman bernama baptis Willibrordus, ditambah nama baptis penguatan (kader) Romanus. Jadilah ia dikenal sebagai Willibrordus Romanus Lasiman. Lasiman atau akrab dipanggil Pak Willi. Kegelisahan demi kegelisahan menyerang keyakinannya. Akhirnya ia pun berkelana dari Katolik ke Kristen Baptis, lalu pindah ke Kebatinan Pangestu (Ngestu Tunggil), mendalami kitab Sasongko Jati, Sabdo Kudus, dan lainnya. Ia juga terjun ke perdukunan dan menguasai berbagai kitab primbon dan ajian. Tujuannya satu, mencari dan menemukan kebenaran hakiki.

Ketika bertugas sebagai misionaris di Garut, Allah mempertemukannya dengan prof Dr Anwar Musaddad, berdiskusi tentang agama. Diskusi inilah yang menuntunnya pada Islam. Allah memberikan hidayah ketika ia berusia 25 tahun. Lalu, Willi pulang ke Yogya dan berdiskusi dengan Drs Muhammad Daim dari UGM. Akhirnya, 15 April 1980, Willi berikrar dua kalimat syahadat, masuk dalam dekapan Islam dengan nama Wahid Rasyid Lasiman. Sejak itu, Willi tekun mengkaji Islam di pesantren. Dari pesantren inilah, Ia menjadi ustadz yang rajin berdakwah dari kampung k kampung di Sleman, Yogyakarta, hingga pelosok kampung di kaki Gunung Merapi.

Untuk memenuhi nafkah keluarganya, Willi mengajar di sebuah SMP Negeri di kota Gudeg. Sedangkan ilmu Kristologi yang dimilikinya sejak jadi misionaris, membuatnya menjadi rujukan jamaah untuk bertanya tentang perbandingan Islam dan Kristen. Ustadz Wahid alias pak Willi, adalah mubaligh tangguh yang mahir dalam Kristologi.

Untuk memuluskan dakwahnya, Willi menyusun buku-buku dan VCD untuk kalangan sendiri, berisi kisah nyata perjalanan rohaninya. Hal ini membuat agama lain cemburu pada dakwahnya yang agresif. Tabloid Sabda, media milik Katolik di Jakarta, pernah menyorot Willi di rubrik utama dengan judul cover "Gereja katolik Kembali Difitnah Mantan Misionaris Willibrordus Romanus Lasiman (Ustadz Drs Wachid Rasyid Lasiman)".

Yang dimaksud Sabda adalah uraian Pak Willi dalam buku Yesus Beragama Islam. Dalam bukunya itu, Willi menyatakan, Yesus sebenarnya bukan beragama Kristen atau katolik, melainkan seorang Muslim. Pemred Tabloid Sabda, Peter, menulis artikel berjudul "Kok berani-beraninya Ustadz Wachid Rasyid Lasiman Meng-Islamkan Yesus".

Kemarahan Peter dalam tulisannya ini, tampak nyata. Sang Pemred ini menggunakan kata-kata kasar dengan menyebut Willi sebagai orang "ngawur, konyol, naif, melancarkan fitnah dan lainnya. Sementara, di akhir tulisan, Peter mengimbau pembacanya, "Bagi umat Kristian, menghadapi fenomena seperti ini sebaiknya dengan kepala dingin saja. Tidak usah emosi karena tidak ada manfaatnya sama sekali."

Sementara itu, dalam menghakimi pendapat Willi, peter menulis, "Kalaupun diperbolehkan menyebutkan Yesus itu agamanya Apa? Maka tentu lebih masuk akal mengatakan Yesus beragama Katolik atau Kristen daripada mengatakan Yesus beragama Islam. Tapi, Yesus sesungguhnya bukan pengikut atau penganut agama Kristen Katolik atau Kristen Protestan, melainkan dialah Kristus sang juru selamat manusia dan dunia. Itulah iman orang Kristen,"
(hlm 4).

Jadi, apa agama Yesus? pertanyaan ini sering menjadi bahan diskusi yang hangat dan menarik. Jika dijawab Yesus adalah Tuhan dan Juru Selamat manusia, maka dia tak perlu agama dan tak beragama. Maka, pernyataan ini bisa dipahami bahwa Yesus tak beragama, artinya Yesus itu ateis. Menurut Yossy Rorimpadel, dari Sekolah Tinggi Teologi "Apostolos", Yesus itu beragama Yahudi. Lalu, mengapa pengikutnya tak beragama Yahudi?

Jika Yesus beragama Katolik, mana dalilnya? kapan Yesus memproklamirkan dirinya beragama Katolik? Jika dinyatakan, Yesus beragama Kristen Protestan, lebih tidak masuk akal lagi, Sebab, Protestan lahir pada abad ke-16, saat bergulirnya pergerakan Reformasi gereja yang dimotori oleh Martin Luther dan John Calvin.

Pendeta Yosias Leindert Lengkong dalam buku Bila Mereka Mengatakan Yesus Bukan Tuhan menyebutkan, istilah "Kristen" muncul di Antiokhia pada 41 Masehi. Dan, yang mengucapkan kata "Kristen" atau "Kristianos" bukan murid Yesus atau orang terpercaya, tapi justru orang-orang luar (hlm.77). Pendapat ini cukup beralasan, karena dalam Alkitab, Yesus tak pernah bersinggungan dengan kata "Kristen".

Kata ini, muncul pertama kali di Antiokhia setelah Yesus tidak ada. (Lihat Kisah Para Rasul 11:26). Jelaslah, Yesus tak beragama Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Riwayat penyebutan "Kristen" tidak mempunyai asal-usul dan persetujuan dari Yesus. Label dan penamaan Kristen diberikan pada pengikut (agama) Yesus, setelah bertahun-tahun Yesus tidak ada.

Tudingan Peter bahwa Willi "meng-Islamkan" Yesus pun tidak tepat. Karena, yang menyatakan Nabi Isa beragama Islam itu bukan Pak Willi alias Ustadz Wachid, melainkan Allah SWT sendiri. Dalam al-Qur'an disebutkan, satu-satunya agama yang diridhai Allah hanyalah ISlam (QS Ali Imran: 19,85,102). Karenanya, semua Nabi beragama Islam dan pengikutnya disebut muslim (QS Ali Imran:84). Islam telah diajarkan oleh paran Nabi terdahulu (QS al-Hajj:78). karena Isa Almasih adalah Nabi Allah, maka dia dan pengikutnya (Hawariyyun) pub beragama Islam (QS al-Maidah:111, Ali Imran :52).

Semua Nabi beragama dan berakidah sama, yakni Islam. Perbedaan mereka hanya pada syariatnya (QS al-Hajj:67-68). Rasulullah saw bersabda: "Aku adalah orang yang paling dekat dengan Isa putra Maryam di dunia dan akhirat. Dan semua Nabi itu bersaudara karena seketurunan, ibunya berlainan sedang agamanya satu (ummahatuhum syattaa wa dinuhum wahid)," (HR Bukhari dari Abu Hurairah ra).

Islam tak mengklaim sebagai agama baru yang dibawa Nabi muhammad ke Jazirah Arabia, melainkan sebagai pengungkapan kembali dalam bentuknya yang terakhir dari agama Allah SWT yang sesungguhnya, sebagaimana ia telah diturunkan pada Adam dan Nabi-nabi berikutnya.

Satu-satunya kitab suci di dunia yang mengungkapkan agama Yesus, hanya al-Qur'an. Al-Qur'an menyebutkan, Nabi Isa sebagai Muslim, sedangkan Bibel tidak menyebutkan Yesus beragama Kristen atau Yahudi. Kok, berani-beraninya Peter menuduh Willi ngawur. Lalu, mengatakan lebih masuk akal, jika Yesus beragama katolik atau Kristen daripada Yesus beragama Islam. (sabili/al-islahonline.com)

Dari Pesantren ke Pesnatren : PP AL HAWAARIYYUN

PONDOK pesantren selama ini identik dengan tempat pendidikan agama Islam dan para santri mondok di lingkungan pesantren. Di Ponpes Al Hawaariyyun, kelaziman tersebut ternyata tidak terjadi. ?Kami menerapkan pendidikan kilat sistem paket. Peserta dikelompokkan dalam satu paket dan pelajaran diberikan dengan metode singkat,? kata ustadz Drs H Willibrordus Romanus Lasiman, pengasuh PP Al Hawaariyyun.

Tujuan utama dari pesantren ini adalah membentuk sikap dan wawasan dasar tentang Islam, serta menanamkan ajaran agar santri tidak terpengaruh untuk masuk ajaran agama lain. Misi tersebut sebenarnya sangat berat. Rasanya tidak mungkin diberikan dalam waktu singkat. Namun, karena ustadz Willi sebelum menganut Islam dan kemudian mendirikan pesantren adalah penganut agama lain, sehingga dia mempunyai strategi penguatan aqidah Islam yang praktis dan efektif.

?Cukup dengan pertemuan intensif selama sepuluh jam, saya bisa meyakinkan dan menguatkan kepercayaan santri akan kebenaran ajaran Islam. Tetapi, tidak sedikit santri kurang puas hanya bertatap muka sepuluh jam. Sehingga, rata-rata proses diklat berlangsung tiga hari,? tambah Willi yang setelah menganut Islam bernama H Wakhid Rosyid Lasiman ini.

Selama diklat, rombongan santri tinggal di komplek pesantren yang terletak di dusun Cakran Wukirsari Cangkringan Sleman. Jumlah peserta per paket sangat variatif. Dua santri pun dilayani. Tapi, rata-rata tiga puluh orang. Tingkat usia dan pendidikan tidak menjadi soal. Kebanyakan, santri diklat berasal dari luar daerah, seperti Magelang, Surabaya, Bogor dan Jakarta.

Justru santri dari lingkungan sekitar pesantren jumlahnya minim. Mungkin, mereka belum terbiasa dengan sistem pendidikan kilat. Namun bukan berarti masyarakat sekitar tidak peduli dengan keberadaan Al Hawaariyyun. ?Setiap kami menyelenggarakan kegiatan, masyarakat selalu berpartisipasi. Termasuk ketika membangun gedung pesantren,? katanya lagi.

Beberapa santri Al Hawaariyyun merupakan penganut Islam baru. Ini barangkali dilatarbelakangi perjalanan sang ustadz yang sebelumnya non muslim.

Tidak ada semacam standar biaya diklat. Santri diminta untuk menghitung, apa saja yang menjadi kebutuhannya selama diklat. Misalnya kebutuhan konsumsi. Mereka boleh memasak sendiri atau menyerahkan ke pengelola pesantren. Lalu jika santri ada kelebihan dana, boleh berinfak untuk membantu membayar rekening listrik. ?Tidak ada ketentuan untuk honorarium ustadz,? aku guru SMP 15 Yogya ini.

Biaya operasional pondok termasuk pembangunan gedung, sebagian besar diambilkan dari hasil penjualan buku karya Willi. Setelah masuk Islam, ia berhasil menerbitkan empat buku. Juga, sebagian gaji Willi dan isterinya sebagai pegawai negeri serta uang transpor yang diperoleh jika berceramah ke luar kota, disumbangkan untuk mendanai operasionalisasi pesantren.

Pesantren ini didirikan sekitar tahun 1987. Berarti tujuh tahun setelah Willi mendalami Islam dan sempat nyantri ke beberapa kiai dan PP Jaga Satru, Cirebon asuhan KH Ayib Muhammad. Selain menyelenggarakan diklat, Al Hawwariyyun juga mengkoordinir penyaluran zakat dan hewan kurban di wilayah Kaki Merapi. Juga, mengkoordinir kegiatan 15 Taman Pendidikan Al Qur?an.

Metode pendidikannya dengan ceramah, diskusi dan latihan memecahkan masalah melalui metode taktis dan praktis. Selama pertemuan, dibiasakan metode dialogis.

Jumlah santri peserta diklat telah mencapai angka ribuan orang. Selain menyelenggarakan pendidikan di lingkungan pondok, pesantren ini juga sering menggelar diklat di luar pondok. Bahkan ke luar kota, seperti Bogor dan Jakarta. ?Tidak sedikit pula sekelompok masyarakat mengundang kami datang ke rumah salah satu peserta dan proses diklat dilangsungkan di sana,? tambahnya.

Willi mengaku, sebelum menganut Islam, dia seorang petualang agama. Pernah dibaptis, beberapa kali mengikuti aliran kepercayaan serta nyantrik ke dukun untuk meguru ilmu kanuragan sudah tidak terhitung. Dari petualangan itu, saya hanya mendapat kehampaan. Tidak ada ketenangan, bahkan yang ada hanya rasa cemas dan takut. Tapi, setelah mendalami Islam, hidup ini jadi tenang dan indah! tuturnya.

====================================================================


HANDOKO MATAN AKTIVIS GEREJA : HIDAYAH ITU DATANG LEWAT MIMPI

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga ia mengubah keadaannya sendiri. Itulah yang dialami Handoko. Karena kegigihannya yang kuat untuk mencari kebenaran sejati, akhirnya Allah membukakan pintu hidayah Islam. Berikut penuturannya.

AKU lahir di Surabaya tahun 1974 dengan nama Handoko (34). Meski bukan remaja lagi, aku merasa masih berusia 16 tahun. Baru 16 tahun aku merasa hidup, tepatnya tahun 1991 ketika kalimat syahadat mengalun merdu dari kedua bibirku. Masa-masa mencari kebenaran sejati sangatlah berarti. Terlalu dalam untuk dikisahkan, terlalu indah dikenangkan. Aku tumbuh di lingkungan Nasrani. Aku diangkat sebagai anak oleh donatur gereja. Semasa kecil aku begitu penurut, rajin ke gereja dan mengkaji Injil. Seiring berjalannya waktu aku tumbuh menjadi remaja yang kritis. Kecerdasan otakku membuatku mengugat agama turunan yang telah diwariskan kepadaku.

Kisah ini bermula ketika aku mendapati segerombolan waria. Dalam pandangan umum mereka adalah makhluk yang berdosa karena menyalahi kodrat Tuhan. Padahal, kalau waria itu bawaan sejak lahir siapa yang salah? Apakah ia tidak bisa masuk surga? Bukankah Tuhan telah menciptakan makhluknya seperti itu? Kenapa Tuhan tidak jadikan semua makhluk di dunia ini baik? Mengapa Tuhan yang Mahapencipta telah menciptakan manusia dengan kelainan genetik sementara ada banyak manusia sempurna? Benarkah Tuhan itu adil? Di mana letak keadilan itu?

MIMPI ANEH

Pertanyaan itu selalu berlalu-lalang di benakku manakala senyap malam rembulan pasi mengantar tidurku. ?Tuhan jika benar Kau Mahapenyayang, sayangilah aku yang ragu. Tunjukkanlah kebenaran kepadaku! Pintaku dengan penuh pengharapan.?

Lama aku merenung dan berdoa namun hidayah belum juga tiba. Aku percaya Tuhan itu ada tapi aku tak percaya dengan semua ajaranNya. Aku pun mulai putus asa. Akhirnya kuputuskan untuk tidak menganut ajaran agama apapun. Setelah 6 bulan hidup dengan kehampaan, kutemukan jawaban segala keraguan. Aku atheis, tidak bertuhan.

Tatkala aku tertidur nyenyak. aku bermimpi diangkat dari tanah kemudian di bawa ke langit dan dijatuhkan ke bumi entah oleh siapa aku tak mengenalnya. Di hadapanku muncul dua jenazah yang dimasukkan ke dalam kubur. Suasana senja, serba oranye, aku mengigil ketakuatan. Perasaanku bercampur tidak karuan. Di padang mahsyar itu, aku melihat bumi dan langit. Aku melihat 2 jenazah. Sebuah simbol suami istri kelak akan mempertanggungjawabkan amal-perbuatannya. Aku melihat neraka. Aku lari ketakutan. Muncullah sosok pria sepuh memberhentikan lariku.?Nak kau takut, maukah kau tidak takut?? tanyanya.

?Aku ingin tidak takut? jawabku.
?Kalau kau ingin tidak takut maka pelajarilah Alquran?. Tiba-tiba aku terbangun dari tidur. Nafasku belum teratur. Aku masih mengigil ketakutan. Larut malam dan deras hujan Maret yang menusuk keheningan menjadi saksi bahwa aku mendapatkan hidayah Allah yang telah lama kunanti-nanti. Sejak saat itu aku bertekat memeluk Islam dan memperdalam Islam.

BANTUAN DIHENTIKAN

Sebagai anak gereja aku wajib menunaikan ibadah layaknya orang Kristen. Namun, karena keyakinanku telah berpindah, otomatis takkan kuinjakkan kaki lagi ke gereja. Akibatnya, pengurus gereja menghentikan semua beaya hidupku, termasuk beasiswa. Aku pun keluar dari STM PGRI 2. Aku melanglang buana mencari ketenangan hati. Aku sadar akan datang suatu hari, ketika semua mulut dikunci dan kesempatan untuk memperbaiki diri takkan ada lagi. Selagi nyawanya masih bersemayam diraga, aku berjanji akan mengapai rida-Nya. Aku tak peduli meski harus hidup terlunta.

Sebagai permulaan, aku belajar mengeja huruf-huruf hijaiyah dari teman lama di SMP 10 Surabaya yang bernama Rahmat. Setelah Fasih, aku rajin mengikuti pengajian-pengajian di masjid. Aku bahkan sering mengadakan kunjungan ke pesantren-pesantren untuk memperdalam Islam.

Aku mengunjungi salah satu pondok pesantren di Pasuruan untuk memperkokoh agamaku yang masih tergolong rapuh. Selain itu, aku juga belajar di Pondok Pesantren Miftahul Huda 3 bulan. Tak lupa aku mengikuti pengajian yang ada di masjid-masjid terdekat, belajar agama melalui buku yang kupinjam dari teman-teman remaja masjid, membaca tabloid Islam, dan buku apa saja sampai sekarang. Tentunya, sambil bekerja serabutan.

AL QURAN VS INJIL

Datanglah seorang wanita aktivis gereja untuk mengembalikan aku kepada agama nasrani. Kubiarkan saja ia memaparkan apa dan bagaimana Injil itu. Lambat-laun aku justu menawarkan tafsir Alquran sebagai bandingan untuk diskusi. Wanita itu pun menyetujui. Lama-kelamaan kami terbiasa berdiskusi. Dalam kondisi seperti itu, aku mengatakan bahwa aku seorang muslim. Alangkah kagetnya wanita penginjil yang bernama Puji Utami.

Setelah membandingkan dan mengkaji Islam lebih dalam, wanita yang kritis itu menemukan bahwa Yesus bukan Tuhan, Yesus manusia. Puji utami akhirnya mangakui Islam sebagai satu-satunya agama yang paling benar. Tepat 17 Januari 2007, ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.

Alhamdulillah, setelah berjuang untuk mendapatkan cinta sejati, cinta kepada Rabb, kini aku telah mendaptakan bingkisan dari-Nya sebuah kado yang istimewa, wanita muslimah telah siap menjadi pasangan tulang rusukku. Akhirnya, aku menyunting Puji.

Sesungguhnya di balik kesusahan, akan ada kemudahan. Sekian lama kuarungi hidup dengan kesabaran dan ketabahan. Akhirnya, anugerah dari Allah bertubi-tubi menghampiri kami. Usai menunaikan Sholat Jum?at, HP-ku berbunyi. Aku tak menyangka yang menelpon adalah Bapak Teguh Wibowo, SH, direktur PT. Cahaya Addin Abadi. Aku diminta kerja di tempatnya. Sepontan aku mengucapkan syukur kapada Allah Yang Maha Pemurah atas limpahaan anugerah. Kini, di usia yang semakin matang aku ingin terus mematangkan ketauhitan. Bahkan aku tak lupa mengemis kepada Allah agar selamat dunia dan akhirat.

====================================================================


YAHYA SCHROEDER : DIANGGAP GILA SETELAH MENEMUKAN ISLAM

Sebelumnya, ia menikmati hidup dengan hura-hura. Pesta, minum alkohol, mabuk-mabukkan. Pokoknya ?happy." Tapi ia dianggap "gila" setelah menemukan Islam

Namanya Yahya Schroeder. Ia muallaf baru asli Jerman. Memeluk Islam setahun lalu atau tepatnya Nopember 2006. Saat itu ia berusia 17 tahun. Saat remaja lain sibuk mereguk nikmatnya puncak masa remaja, Yahya justru sedang berada di puncak pencarian spiritualnya. Melalui situs www.readingislam.com (11/9) ia menorehkan kisah perjalanan spiritualnya itu kepada publik, semata-mata untuk berbagi pengalaman dengan sesama saudara se-Islam, terutama yang berdomisili di negara non-Muslim.

Sebagai seorang muallaf, Yahya mengaku lebih mudah mengikuti dan mengamalkan Islam ketimbang muslim tradisonal yang lahir dan dibesarkan di Jerman.

Ada sebagian pemuda muslim yang lahir disana, sepengetahuan Yahya, justru ingin dikenal sebagai orang Jerman. ?Mereka tidak bangga dengan Islamnya. Bagi mereka Islam hanyalah sebuah tradisi. Malah ada yang berani menggadaikan keislamannya hanya agar bisa berganti kewarganegaraan,? ungkap pemuda murah senyum itu. Na?uzubillah!.

Memang, seperti diakui Yahya, hidup sebagai seorang Muslim di Jerman tidaklah mudah.

?Jika orang Jerman ditanya apa yang mereka ketahui tentang Islam, maka mereka akan jawab Islam identik dengan yang berbau Arab. Jadi persis seperti sebuah simbol operasi dalam matematika, Islam=Arab. Mereka belum tahu kebesaran Islam yang sebenarnya,? imbuhnya.

Masa remaja penuh ceria
Yahya dibesarkan di sebuah desa kecil di pinggiran Potsdam. Ia tergolong anak keluarga berada. ?Aku tinggal di sebuah rumah mewah dengan ibu dan ayah tiriku. Rumah kami memiliki halaman yang cukup luas dan ada kolam renangnya. Sebagai seorang remaja aku sangat menikmati hidup ini. Punya banyak teman, kami sering bikin pesta, minum alkohol, mabuk-mabukkan, dan acara gila-gilaan lainnya. Ya seperti kebanyakan pemuda Jerman umumnya, Pokoknya happy,? ujar Yahya mengenang.

?Kala itu aku punya segalanya; rumah mewah, mobil, uang, dan berbagai macam jenis mainan canggih. Aku tidak pernah kekurangan uang, tapi entahlah, aku merasa hidup tidak tenang, selalu gelisah. Kala itu pun aku berpikir untuk mencari ?sesuatu? yang lain,? sambungnya.

Memasuki umur 16 tahun ia bersua dengan komunitas Muslim di kota Potsdam melalui perantaraan ayah kandungnya. Ayahnya memang telah duluan memeluk Islam tahun 2001. Ya kendati telah bercerai dengan sang ibu, namun Yahya senantiasa menjenguk ayahnya sekali dalam sebulan dan sering pula menghadiri pengajian warga muslim disana.

Secara perlahan, Yahya mulai tertarik dengan Islam. Rupanya sang ayah memerhatikan gejala itu. Sang Ayah ingin ia belajar lebih jauh tentang Islam dari orang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi. Sejak saat itu Yahya mulai serius belajar Islam dan menghadiri forum pengajian rutin setiap bulannya.

Satu ketika, terjadilah sesuatu yang tak diinginkan, yang nantinya merubah semua jalan hidupnya. ?Ceritanya, satu hari aku ikut kawan-kawan pergi berenang. Nah saat melompat ke kolam, aku terpeleset dan jatuh tidak sempurna. Akibatnya, punggungku mengalami retak berat dan kepala berbenturan hebat dengan dasar kolam. Cederaku cukup parah hingga ayah segera melarikanku ke rumah sakit.?

?Di rumah sakit, dokter menyarankan agar jangan banyak bergerak. Cedera punggungku cukup parah yang mengakibatkan engsel tangan kanan bergeser. Katanya: ?Nak, janganlah banyak bergerak. Sedikit saja salah bergerak bisa menyebabkan cacat nantinya.? Kalimat dokter itu sungguh sangat tidak membantu. Malah membuatku tertekan luar biasa.?

Sejurus kemudian, sebelum dibawa ke ruang operasi, Ahmir salah seorang sahabatnya berujar.?Yahya, hidupmu kini ada di tangan Allah. Ini mirip seperti sebuah perjudian, antara hidup dan mati. Kini kamu berada di puncak kenikmatan dari sebuah pencarian. Bertahanlah, sabarlah sahabat. Allah pasti bantu.? Kalimat Ahmir dirasakan Yahya sangat luar biasa. Ia sangat termotivasi dan semangat hidupnya muncul kembali.

?Operasi berjalan selama lima jam dan aku siuman selepas 3 hari. Saat terjaga tangan kananku sulit digerakkan. Namun, entah mengapa, aku merasa orang yang paling bahagia di muka bumi ini. Bahkan kepada dokter kuberitahukan bahwa aku tidak peduli dengan cedera yang kualami. Aku justru bahagia Allah masih mengizinkanku hidup,? kenang Yahya.

?Dokter mengatakan aku harus tinggal di rumah sakit selama beberapa bulan. Tapi tahukah kawan, aku dirawat cuma dua pekan saja! Itu karena aku latihan rutin dan penuh disiplin. Satu hari dokter datang dan bilang: ?Hari ini kita coba latihan naik tangga ya.? Padahal tanpa sepengetahuan mereka sebenarnya aku telah melakukan latihan atas inisiatif sendiri, dua hari sebelum dokter datang,? sambungnya. Begitulah, akhirnya ia dapat menggerakkan kembali tangan kanannya seperti sediakala dan cuma dua pekan di rumah sakit.

?Kecelakaan itu telah mengubah jalan hidupku. Aku jadi suka merenung. Jika Allah inginkan sesuatu, maka kehidupan seorang individu bisa berubah hanya dalam hitungan detik. Aku pun mulai serius berpikir tentang hidup ini dan Islam tentunya. Keinginan untuk memeluk Islam makin menjadi-jadi, yang berarti harus meninggalkan rumah, keluarga yang kucintai dan semua kemewahan hidup disana,?ungkapnya. Akhirnya ia memutuskan pindah ke Potsdam.

Kala pindah ke Potsdam Yahya cuma membawa beberapa lembar pakaian, buku sekolah dan beberapa CD kesayangannya. Ia tinggal sementara di apartemen ayahnya.

?Kecil memang tempatnya, hingga aku musti tidur di dapur. Tapi itu tidak masalah bagiku. Aku merasa bahagia. Sangat bahagia, persis seperti kala terjaga dari siuman di rumah sakit selepas kecelakaan hebat itu.?

Mengucap dua kalimah syahadah
Tak berapa lama ia mulai menjalani hari pertama di sekolah. Mendadak semua serba baru baginya. Apartemen baru, sekolah baru, teman baru dan pertamakali tanpa keluarga lengkap. Persis sehari selepas hari pertama di sekolah, ia pun bersyahadah. Begitu teman-teman sekolahnya tahu ia beragama Islam mulailah mereka mengejek dengan kalimat-kalimat usil.

?Ada teroris?, ?Usamah bin Laden datang,? ?Islam itu kotor?. Begitu mereka mengejek Yahya. Sebagiannya malah ada yang menganggapnya gila. Lebih parahnya lagi, bahkan ada yang tidak percaya ia orang Jerman asli.

?Aku bisa maklumi, karena mereka hanya tahu Islam dari media yang cenderung memojokkan Islam,? tukasnya

Akan tetapi setelah 10 bulan berjalan situasinya benar-benar berubah. Sikap teman-temannya berubah drastis. Rekan-rekan sekelasnya berhenti bersikap usil. Malah mereka sering bertanya tentang Islam. Pandangan mereka tentang Islam pun berubah. Menurut mereka, ternyata Islam itu cool! Indah! Subhanallah!

?Perubahan itu tentu saja tidak serta merta. Secara halus dan perlahan aku melakukan dakwah di kelas. Tentu saja bukan dengan ceramah agama. Sikap dan tingkah lakulah yang banyak membantu mereka mengenal Islam. Percaya tidak, kini aku bahkan punya ruang shalat khusus. Padahal akukah satu-satunya siswa Muslim di sekolah itu,? ujar Yahya senang.

?Mereka baru tahu ternyata Islam punya adab atau tata tertib dalam hidup. Yang menarik bagi mereka, Islam tidak ekslusif, tidak mengelompokkan diri dalam kelompok-kelompok khusus. Seperti di sekolahku ini,? imbuhnya.

Dikatakannya, di sekolah itu ada tiga kelompok utama yakni kelompok yang suka hura-hura. kongkow-kongkow; lalu ada kelompok punk; dan satunya lagi kelompok yang suka pesta-pestaan. Setiap orang selalu mencoba untuk jadi anggota kelompok dari salah satu grup, semata-mata supaya diterima oleh yang lainnya.

?Kecuali aku! Aku tidak masuk kelompok manapun, namun diterima oleh semua mereka. Aku bisa menjadi teman bagi setiap orang. Tidak perlu menggunakan pakaian tertentu supaya dibilang ?cool.? Bahkan mereka selalu mengundangku, demikian juga teman-temanku yang Islam pada acara-acara mereka,? kisah Yahya.

Mereka menaruh respek pada Yahya sebagai seorang muslim. Bahkan lebih dari itu, jika ada acara mereka secara khusus menyiapkan makanan halal untuknya. Misalnya acara bakar sate, maka mereka siapkan dua alat pembakar. Satunya untuk mereka dan satunya lagi khusus untuk Yahya dan rekan-rekan Muslimnya.

?Bukan main! Kini mereka benar-benar terbuka dengan Islam. Aku hanya berdoa agar Allah beri mereka hidayah. Amiin,? harapnya sembari berdoa.

Selepas memeluk Islam, kesibukan Yahya kini bertambah. Ia menjadi produser film. YaYa Productions nama perusahaannya yang berlokasi di Potsdam. Produksinya terutama film-film dokumenter yang kebanyakan mengisahkan perjalanan hidup seorang muallaf dan kebanyakan dalam bahasa Jerman dengan terjemahan bahasa Inggris.

?Tujuan aku buat film adalah untuk menunjukkan kepada kalangan non-Muslim bagaimana Islam yang sebenarnya. Jauh dari apa yang ditampilkan media selama ini. Mudah-mudahan film-film itu bisa mencerahkan pandangan mereka,? ujar Yahya yang meyakini pekerjaannya itu sebagai bagian dari dakwah.

====================================================================


KISAH SITUA OJEK HUTAGAOL (H ABD. RAZAK H) :
MENEMUKAN KEBENARAN DALAM ISLAM


Saya, ketika itu, begitu bangga menjadi umat kristiani. Bahkan, saya sering mengejek umat Islam dengan kata-kata kotor. Bagi saya waktu itu, Islam tak lebih sebagai agamanya orang-orang miskin yang kotor dan menjijikkan. Tapi, setelah saya mengenal Islam lebih jauh dan mulai bersahabat dengan orang Islam, baru saya mengerti bahwa Islam adalah agama yang suci.

ISLAM adalah agama hakiki yang dapat dikaji dan didiskusikan. Islam juga tak berseberangan dengan alam rasional sehingga kebenaran dapat ditemukan dalam Islam. Nama saya sekarang H. Abdul Razak Hutagaol (43), tapi sebelum Islam saya dikenal dengan nama Situa Oak Hutagaol. Saya seorang aktivis Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Tanjung Priok, Jakarta Utara. Saya menjadi muslim pada tanggal 16 September 1997 di Masjid Syuhada, Yogyakarta. Alhamdulillah, sebulan kemudian saya menunaikan ibadah umrah. Bahkan, setahun kemudian saya menunaikan ibadah haji. (Amien, Red.)

Keluarga kami sangat taat beragama. Papi saya adalah seorang akhvis gereja sehingga saya dan seluruh keluarga selalu mempelajari agama. Teringat ketika masih kecil, papi sering menyuruh saya untuk datang ke gereja. Bahkan kalau tak mau, ia sering memarahi saya.

Proses awal saya masuk Islam, melalui pengkajian pendalaman terhadap Alkitab (Bibel) yang saya bandingkan dengan kitab suci Al-Qur'an. Temyata Al-Qur'an lebih konsisten, baik dalam redaksi maupun ajarannya.

Saya, ketika itu, begitu bangga menjadi umat kristiani. Bahkan, saya sering mengejek umat Islam dengan kata-kata kotor. Bagi saya waktu itu, Islam tak lebih sebagai agamanya orang-orang miskin yang kotor dan menjijikkan. Tapi, setelah saya mengenal Islam lebih jauh dan mulai bersahabat dengan orang Islam, baru saya mengerti bahwa Islam adalah agama yang suci.

Di antara perintah (ayat) Injil yang tidak dipatuhi umat Kristen adalah soal keharusan memakal kerudung bagi kaum wanitanya, termasuk perintah tak boleh memakan daging babi, seperti tertuang dalam Injil Matius 5:17 dan Imamat 11: 7. Umat Kristen tak mempedulikan larangan ini. Lain halnya dengan Islam yang selalu menaati perintah tersebut.

Lalu masalah teologi, yakni konsep ketuhanan yang sangat membingungkan dan tak masuk akal, yaitu mengenai masalah trinitas (Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Roh Kudus). Jadi, menurut saya, falsafah Kristen itu sudah tak dapat dipercaya.

Saya juga memperhatikan munculnya aliran (sekte) yang ada di dalam agama Kristen Misalnya, ada pendeta di Guyana, Amerika Latin, yang memerintahkan jemaatnya untuk melakukan bunuh diri massal, dengan tujuan ingin bertemu Tuhan Ini menurut saya tak masuk akal. Tapi dalam Islam, seperti di pesantren-pesantren atau di majelis-majelis taklim, tak pernah ada hal semacam itu.

Sebab itu, saya bertekad untuk mendalami Islam lebih jauh. Dan, ternyata Islam memberikan cakrawala berpikir lebih rasional. Sehingga Islam itu bisa dikaji dan didiskusikan seperti mengenai masalah haram, makruh, halal, dan lainnya. Islam itu juga tak mengenal dogma-dogma.

Saya juga teringat pada awal masuk Islam, ada kejadian aneh yang saya alami -- mungkin tidak ada orang yang percaya. Ceritanya terjadi ketika saya sedang mengalami kesulitan ekonomi. Ada suara aneh dan sangat kasar menyuruh saya untuk membaca Al-Qur'an dan melakukan shalat. Perintah ini jelas sekali terdengar sampai tiga kali berturut-turut.

Saya waktu itu dalam keadaan sadar. Saya tak mengerti, apakah suara itu suara jin atau apa. Tapi, saya berpikir keras. Setelah proses mengkaji itu, mungkin ini perintah Allah kepada saya. Kejadian ini seringkali muncul ketika saya sedang dalam keadaan susah.

Saya mengibaratkan kejadian yang selalu mendadak ini sebagai ilham kepada saya. Apa yang selama ini saya anggap gaib, ternyata dapat saya rasakan. Hingga akhirnya saya memilih Islam sebagai pegangan hidup.

Sebulan kemudian, saya menjalankan ibadah umrah yang dibiayai oleh Haji Darmanto. Selesai umrah, saya banyak belajar mendalami Islam dengan bimbingan Ustadz Drs. H. Syamsul Arifin Nababan, pimpinan Yayasan Pendidikan Muallaf. Saya juga terus mendalami Islam di yayasan pendidikan Islam serta pesantren-pesantren lainnya.

Cobaan Iman

Setelah masuk Islam, banyak pula cobaan yang menimpa saya. Di antaranya waktu kembali dari ibadah umrah, saya ditangkap polisi atas tuduhan perbuatan yang tidak menyenangkan atas pengaduan orang tua saya. Dan ternyata, penangkapan itu dipimpin oleh ipar saya sendiri. Tapi akhirnya persoalan selesai dan semuanya telah saya maafkan.

Sedangkan orang tua saya sekarang ini masih belum bisa memaafkan saya. la belum juga mau menjumpai saya, walaupun saya sudah melakukan kompromi dengan berbagai pihak untuk mengadakan pertemuan itu. Tapi, sampai saat ini belum berhasil. Mudah-mudahan Allah bisa memberikan hidayah kepadanya.

Saya juga mengalami cobaan dalam hal ekonomi. Dulu, saya seorang kontraktor yang sukses dan hidup sangat kecukupan. Tapi, sekarang ini saya diuji Allah, dengan dihilangkan sebagian dari harta yang saya miliki. Sekarang saya hidup sederhana.

Saya cukup pusing dengan sikap anak-anak saya yang tidak mau menerima kenyataan ini. Mereka selalu bertanya, "Mengapa dulu sebelum ayah masuk Islam hidup kita berkecukupan, bisa punya mobil mewah, bisa beli apa yang diinginkan. Tapi sekarang, setelah ayah masuk Islam hidup kita menjadi susah?"

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat saya sedih. Bagaimana saya harus menerangkan kepada anak-anak saya itu? Saya hanya bisa meneteskan air mata. Hanya bisa memohon kepada Allah dan selalu berzikir dan terus berusaha. Karena anak-anak saya belum bisa menerima Islam, sedangkan istri saya sudah dapat menerima dan sudah saya islamkan.

Saya terus berusaha membuktikan kepada anak-anak kami bahwa sebenarnya Islam itu tidak membuat orang jadi melarat. Allah juga membuktikannya kepada saya melalui rezeki yang tak diduga-duga. Ini saya yakini sebagai anugerah Allah kepada saya.

====================================================================


PENDETA YANG MENDAPAT HIDAYAH DARI ALLAH : ABRAHAM DAVID MANDEY

Barangkali tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa perjalanan hidupnya merupakan suatu kasus yang langka dan unik. Betapa tidak, Abraham David Mandey yang selama 12 tahun mengabdi di gereja sebagai "Pelayan Firman Tuhan ", istilah lain untuk sebutan pendeta, telah memilih Islam sebagai "jalan hidup" akhir dengan segala risiko dan konsekuensinya. Di samping itu, ia yang juga pernah menjadi perwira TNI-AD dengan pangkat mayor, harus mengikhlaskan diri melepas jabatan, dan memulai karir dari bawah lagi sebagai kepala keamanan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.

Cerita Beliau ini, - mohon maaf - tidak bermaksud untuk menjelek-jelekan Institusi tertentu karena apa yang telah terjadi Beliau terima dengan ikhlas dan tawakal, Beliau hanya ingin menceritakan proses bagaimana Beliau mendapat hidayah dan tantangannya sebagai mualaf - red.

Saya terlahir dengan nama Abraham David di Manado, 12 Februari 1942. Sedangkan, Mandey adalah nama fam (keluarga) kami sebagai orang Minahasa, Sulawesi Utara. Saya anak bungsu dan tiga bersaudara yang seluruhnya laki-laki. Keluarga kami termasuk keluarga terpandang, baik di lingkungan masyarakat maupun gereja. Maklum, ayah saya yang biasa kami panggil papi, adalah seorang pejabat Direktorat Agraria yang merangkap sebagai Bupati Sulawesi pada awal revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang berkedudukan di Makasar. Sedangkan, ibu yang biasa kami panggil mami, adalah seorang guru SMA di lingkungan sekolah milik gereja Minahasa.

Sejak kecil saya kagum dengan pahlawan-pahlawan Perang Salib seperti Richard Lion Heart yang legendaris. Saya juga kagum kepada Jenderal Napoleon Bonaparte yang gagah perwira. Semua cerita tentang kepahlawanan, begitu membekas dalam batin saya sehingga saya sering berkhayal menjadi seorang tentara yang bertempur dengan gagah berani di medan laga.

Singkatnya, saya berangkat ke Jakarta dan mendaftar ke Mabes ABRI. Tanpa menemui banyak kesulitan, saya dinyatakan lulus tes. Setelah itu, saya resmi mengikuti pendidikan dan tinggal di asrama. Tidak banyak yang dapat saya ceritakan dari pendidikan militer yang saya ikuti selama 2 tahun itu, kecuali bahwa disiplin ABRI dengan doktrin "Sapta Marga"-nya telah menempa jiwa saya sebagai perwira remaja yang tangguh, berdisiplin, dan siap melaksanakan tugas negara yang dibebankan kepada saya.

Meskipun dipersiapkan sebagai perwira pada bagian pembinaan mental, tetapi dalam beberapa operasi tempur saya selalu dilibatkan. Pada saat-saat operasi pembersihan G-30S/PKI di Jakarta, saya ikut bergabung dalam komando yang dipimpin Kol. Sarwo Edhie Wibowo (almarhum).

Setelah situasinegara pulih yang ditandai dengan lahirnya Orde Baru tahun 1966, oleh kesatuan saya ditugaskan belajar ke STT (Sekolah Tinggi Teologi) milik gereja Katolik yang terletak di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Di STI ini, selama 5 tahun (1966-1972) saya belajar, mendalami, mengkaji, dan diskusi tentang berbagai hal yang diperlukan sebagai seorang pendeta. Di samping belajar sejarah dan filsafat agama Kristen. STT juga memberikan kajian tentang sejarah dan filsafat agama-agama di dumia, termasuk studi tentang Islam.


Menjadi Pendeta.

Sambil tetap aktif d TNI-AD, oleh Gereja Protestan Indonesia saya ditugaskan menjadi Pendeta II di Gereja P***** (edited) di Jakarta Pusat, bertetangga dengan Masjid Sunda Kelapa. Di gereja inilah, selama kurang lebih 12 tahun (1972-1984) saya memimpin sekitar 8000 jemaat yang hampir 80 persen adalah kaum intelektual atau masyarakat elit.

Di Gereja P***** (edited) ini, saya tumpahkan seluruh pengabdian untuk pelayanan firman Tuhan. Tugas saya sebagai Pendeta II, selama memberikan khutbah, menyantuni jemaat yang perlu bantuan atau mendapat musibah, juga menikahkan pasangan muda-mudi yang akan berumah tangga.

Kendati sebagai pendeta, saya juga anggota ABRI yang harus selalu siap ditugaskan di mana saja di wilayah Nusantara. Sebagai perwira ABRI saya sering bertugas ke seluruh pelosok tanah air Bahkan, ke luar negeri dalam rangka tugas belajar dari markas, seperti mengikuti kursus staf Royal Netherland Armed Forces di Negeri Belanda. Kemudian, pada tahun 1969 saya ditugaskan untuk mengikuti Orientasi Pendidikan Negara-negara Berkembang yang disponsoni oleh UNESCO di Paris, Prancis.

Dilema Rumah Tangga

Kesibukkan saya sebagai anggota ABRI ditambah tugas tugas gereja, membuat saya sibuk luar biasa. Sebagaipendeta, saya lebih banyak memberikan perhatian kepada jemaat. Sementara,kepentingan pribadi dan keluarga nyaris tergeser. Istri saya, yang putri mantan Duta Besar RI di salah satu negara Eropa, sering mengeluh dan menuntut agar saya memberikan perhatian yang lebih banyak buat rumah tangga.

Tetapi yang namanya wanita, umumnya lebih banyak berbicara atas dasar perasaan. Karena melihat kesibukan saya yang tidak juga berkurang, ia bahkan meminta agar saya mengundurkan diri dan tugas-tugas gereja, dengan alasan supaya lebih banyak waktu untuk keluarga. Tenth saja saya tidak dapat menerima usulannya itu. Sebagai seorang "Pelayan Firman Tuhan" saya telah bersumpah bahwa kepentingan umat di atas segalanya.

Problem keluarga yang terjadi sekitar tahun 1980 ini kian memanas, sehingga bak api dalam sekam. Kehidupan rumah tangga saya, tidak lagi harmonis. Masalah-masalah yang kecil dan sepele dapat memicu pertengkaran. Tidak ada lagi kedamaian di rumah. Saya sangat mengkhawatirkan Angelique, putri saya satu-satunya. Saya khawatir perkembangan jiwanya akan terganggu dengan masalah yang ditimbulkan kedua orang tuanya. Oleh karenanya, saya bertekad harus merangkul anak saya itu agar ia mau mengerti dengan posisi ayahnya sebagai pendeta yang bertugas melayani umat. Syukur, ia mau mengerti. Hanya Angeliquelah satu-satunya orang di rumah yang menyambut hangat setiap kepulangan saya.

Dalam kesunyian malam saat bebas dan tugas-tugas gereja, saya sering merenungkan kehidupan ramah tangga saya sendiri. Saya sering berpikir, buat apa saya menjadi pendeta kalau tidak mampu memberikan kedamaian dan kebahagiaan buat rumah tangganya sendiri. Saya sering memberikan khutbah pada setiap kebaktian dan menekankan hendaknya setiap umat Kristen mampu memberikan kasih kepada sesama umat manusia. Lalu, bagaimana dengan saya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu semakin membuat batin saya resah. Saya mencoba untuk memperbaiki keadaan. Tetapi, semuanya sudah terlambat. Istri saya bahkan terang terangan tidak mendukung tugas-tugas saya sebagai pendeta. Saya benar-benar dilecehkan. Saya sudah sampal pada kesimpulan bahwa antara kami berdua sudah tidak sejalan lagi.

Lalu, untuk apa mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak saling sejalan? Ketika niat saya untuk "melepas" istri, saya sampaikan kepada sahabat-sahabat dekat saya sesama pendeta, mereka umumnya menyarankan agar saya bertindak lebih bijak. Mereka mengingatkan saya, bagaimana mungkin seorang pendeta yang sering menikahkan seseorang, tetapi ia sendiri justru menceraikan istrinya? Bagaimana dengan citra pendeta di mata umat? Begitu mereka mengingatkan.

Apa yang mereka katakan semuanya benar. Tetapi, saya sudah tidak mampu lagi mempertahankan bahtera rumah tangga. Bagi saya yang terpenting saat itu bukan lagi persoalan menjaga citra pendeta. Tetapi, bagaimana agar batin saya dapat damai. Singkatnya, dengan berat hati saya terpaksa menceraikan istri saya. Dan, Angelique, putri saya satu-satunya memilih ikut bersama saya.

Mencari Kedamaian

Setelah kejadian itu, saya menjadi lebih banyak melakukan introspeksi. Saya menjadi lebih banyak membaca literatur tentang filsafat dan agama. Termasuk kajian tentang filsafat Islam, menjadi bahan yang paling saya sukai. Juga mengkaji pemikiran beberapa tokoh Islam yang banyak dilansir media massa.

Salah satunya tentang komentar K.H. E.Z. Muttaqin (almarhum) terhadap krisis perang saudara di Timur Tengah, seperti diYerusalem dan Libanon. Waktu itu (tahun 1983), K.H.E.Z. Muttaqin mempertanyakan dalam khutbah Idul Fitrinya, mengapa Timur Tengah selalu menjadi ajang mesiu dan amarah, padahal di tempat itu diturunkan para nabi yang membawa agama wahyu dengan pesan kedamaian?

Saya begitu tersentuh dengan ungkapan puitis kiai dan Jawa Barat itu. Sehingga, dalam salah satu khutbah saya di gereja, khutbah Idul Fitni K.H. E.Z. Muttaqin itu saya sampaikan kepada para jemaat kebaktian. Saya merasakan ada kekagetan di mata para jemaat. Saya maklum mereka terkejut karena baru pertama kali mereka mendengar khutbah dari seorang pendeta dengan menggunakan referensi seorang kiai Tetapi, bagi saya itu penting, karena pesan perdamaian yang disampaikan beliau amat manusiawi dan universal.

Sejak khutbah yang kontroversial itu, saya banyak mendapat sorotan. Secara selentingan saya pemah mendengar "Pendeta Mandey telah miring." Maksudnya, saya dinilai telah memihak kepada salah satu pihak. Tetapi, saya tidak peduli karena yang saya sampaikan adalah nilai-nilai kebenaran.

Kekaguman saya pada konsep perdamaian Islam yank diangkat oleh KH. E.Z. Muttaqin, semakin menarik saya lebih kuat untuk mendalami konsepsi-konsepsi Islam lainnya. Saya ibarat membuka pintu, lalu masuk ke dalamnya, dan setelah masuk, saya ingin masuk lagi ke pintu yang lebih dalam. Begitulah perumpamaannya. Saya semakin "terseret" untuk mendalami, konsepsi Islam tentang ketuhanan dan peribadahan

Saya begitu tertarik dengan konsepsi ketuhanan Islam yang disebut "tauhid". Konsep itu begitu sederhana, lugas, dan tuntas dalam menjelaskan eksistensi Tuhan yang oleh orang Islam disebut Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sehingga, orang yang paling awam sekalipun akan mampu mencemanya. Berbeda dengan konsepsi ketuhanan Kristen yang disebut Trinitas. Konsepsi ini begitu rumit, sehingga diperlukan argumentasi ilmiah untuk memahaminya.

Akan halnya konsepsi peribadatan Islam yang disebut syariat, saya melihatnya begitu teratur dan sistematis. Saya berpikir seandainya sistemper ibadatan yang seperti ini benar benar diterapkan, maka dunia yang sedang kacau ini akan mampu di selamatkan.

Pada tahun 1982 itulah saya benar-benar mencoba mendekati Islam. Selama satu setengah tahun saya melakukar konsultasi dengan K.H. Kosim Nurzeha yang juga aktif di Bintal (Pembinaan Mental) TNI-AD. Saya memang tidak ingin gegabah dan tergesa-gesa, karena di samping saya seorang pendeta, saya juga seorang perwira Bintal Kristen dilingkungan TNI-AD. Saya sudah dapat menduga apa yang akan terjadi seandainya saya masuk Islam.

Tetapi, suara batin saya yang sedang mencari kebenaran dan kedamaian tidak dapat diajak berlama-lama dalam kebimbangan. Batin saya mendesak kuat agar saya segera meraih kebenaran yang sudah saya temukan itu.

Oh, ya, di samping Pak Kosim Nurzeha, saya juga sering berkonsultasi dengan kolega saya di TNI-AD. Yaitu, Dra. Nasikhah M., seorang perwira Kowad (Korps.Wanita Angkatan Darat) yang bertugas pada BAIS (Badan Intelijen dan Strategi) ABRI.

Ia seorang muslimah lulusan UGM (Universilas Gajah Mada) Yogyakarta, jurusan filsafat. Kepadanya saya sering berkonsultasi tentang masalah-masalah pribadi dan keluarga. Ia sering memberi saya buku-buku bacaan tentang pembinaan pribadi dan keluarga dalam Islam. Saya seperti menemukan pegangan dalam kegundahan sebagai duda yang gagal dalam membina rumah tangganya.

Akhirnya, saya semakin yakin akan hikmah dibalik drama rumah tangga saya. Saya yakin bahwa dengari jalan itu, Tuhan ingin membimbing saya ke jalan yang lurus dan benar. Saya bertekad, apa pun yang terjadi saya tidak akan melepas kebenaran yang telah saya raih ini.

Akhimya, dengan kepasrahan yang total kepada Tuhan, pada tanggal 4 Mei 1984 saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat dengan bimbingan Bapak K.H. Kosim Nurzeha dan saksi Drs. Farouq Nasution di Masjid Istiqial. Allahu Akbar. Hari itu adalah hari yang amat bersejarah dalam hidup saya. Han saat saya menemukan diri saya yang sejati.

Menghadapi Teror

Berita tentang keislaman saya ternyata amat mengejutkan kalangan gereja, termasuk di tempat kerja saya di TNI-AD. Wajar, karena saya adalah Kepala Bintal (Pembinaan Mental)Kristen TNI-AD dan di gereja, saya adalah pentolan.

Sejak itu saya mulai memasuki pengalaman baru, yaitu menghadapi tenor dan berbagai pihak. Telepon yang bernada ancaman terus berdening. Bahkan, ada sekelompok pemuda gereja di Tanjung Priok yang bertekad menghabisi nyawa saya, karena dianggapnya telah murtad dan mempermalukan gereja.

Akan halnya saya, di samping menghadapi teror, juga menghadapi persoalan yang menyangkut tugas saya di TNI AD. DGI (Dewan Gereja Indonesia), bahkan menginim surat ke Bintal TNT-AD, meminta agar saya dipecat dan kedinasan dijajaran ABRl dan agar saya mempertanggungjawabkan perbuatan saya itu di hadapan majelis gereja.

Saya tidak penlu menjelaskan secara detail bagaimana proses selanjutnya, karena itu menyangkut rahasia Mabes ABRI. Yang jelas setelah itu, saya menerima surat ucapan tenima kasih atas tugas-tugas saya kepada negara, sekaligus pembebastugasan dan jabatan saya di jajaran TNT-AD dengan pangkat akhir Mayor.

Tidak ada yang dapat saya ucapkan, kecuali tawakal dan m?nerima dengan ikhlas semua yang tenjadi pada diri saya. Saya yakin ini ujian iman.

Saya yang terlahir dengan nama Abraham David Mandey, setelah muslim menjadi Ahmad Dzulkiffi Mandey, mengalami ujian hidup yang cukup berat. Alhamdulillah, berkat kegigihan saya, akhirnya saya diterima bekerja di sebuab perusahaan swasta. Sedikit demi sedikit kanin saya terus menanjak. Setelah itu, beberapa kali saya pindah kerja dan menempati posisi yang cukup penting. Saya pennah menjadi Manajer Divisi Utama FT Putera Dharma. Pernah menjadi Personel/General Affairs Manager Hotel Horison, tahun 1986-1989, Dan, sejak tahun 1990 sampai sekarang saya bekerja di sebuah bank terama di Jakarta sebagai Safety & Security Coordinator.

Kini, keadaan saya sudah relatif baik, dan saya sudah meraih semua kebahagiaan yang selama sekian tahun saya rindukan. Saya sudah tidak lagi sendiri, sebab Dra. Nasikhah M, perwira Kowad itu, kini menjadi pendamping saya yang setia, insya Allah selama hayat masih di kandung badan. Saya menikahinya tahun 1986. Dan, dan perikahan itu telah lahir seorarig gadis kedil yang manis dan lucu, namariya Achnasya. Sementara, Angelique, putri saya dari istri pertama, sampai hari ini tetap ikut bersama saya, meskipun ia masih tetap sebagai penganut Protestan yang taat.

Kebahagiaan saya semakin bertambah lengkap, tatkala saya mendapat kesempatan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama istri tercinta pada tahun 1989



Kembali ke halaman depan